15 November 2008

Kepercayaan Publik dan Kasus dalam Perasuransian

Kepercayaan Publik dan Kasus dalam Perasuransian

Kapler A Marpaung

LEMBAGA perasuransian, sama halnya dengan lembaga perbankan, akan dipercaya apabila dapat memberikan jaminan kepercayaan kepada masyarakat. Perusahaan asuransi harus benar-benar dapat memberikan jaminan bahwa dana yang dikumpulkan akan dikembalikan di kemudian hari sesuai dengan hak nasabah. Masyarakat harus dapat diyakinkan bahwa perusahaan asuransi akan dapat memenuhi kewajibannya untuk membayar ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh masyarakat tertanggung.

KASUS-kasus dalam industri perasuransian dapat dijadikan sebagai indikator untuk mengukur kondisi perasuransian, baik pertumbuhan maupun peranannya dalam perekonomian nasional. Semakin sedikit kasus asuransi yang muncul mencerminkan bahwa industri asuransi dikelola dengan baik dan kondisi ini akan menumbuhkan kepercayaan dari masyarakat tertanggung.

Jumlah pengaduan kasus-kasus asuransi berdasarkan data dari Departemen Keuangan per Agustus 2003 adalah 243 kasus. Yang sudah terselesaikan 115 kasus dan belum terselesaikan 128 kasus. Diindikasikan banyak masalah asuransi yang dihadapi oleh masyarakat tertanggung yang tidak dilaporkan resmi ke Departemen Keuangan karena alasan alasan tertentu.

Asuransi adalah perjanjian ganti rugi antara tertanggung dan penanggung yang aktanya disebut polis asuransi. Kontrak asuransi sangat spesifik karena hanya ditandatangani oleh penanggung (perusahaan asuransi), tetapi mengikat pihak tertanggung. Isi perjanjian umumnya disusun oleh perusahaan asuransi menjadi sesuatu yang baku atau standar.

Isi kontrak asuransi di samping memuat bahasa-bahasa hukum, juga sangat teknis dan spesifik, di mana pada umumnya sangat sulit untuk memahami isi polis asuransi. Jangankan pihak tertanggung, banyak pelaku dalam perusahaan perasuransian juga kurang memahami isi kontrak.

Dalam bisnis asuransi, ada beberapa prinsip asuransi yang harus diterapkan baik oleh perusahaan asuransi maupun oleh masyarakat tertanggung. Setidaknya prinsip dimaksud antara lain adalah prinsip insurable interest, prinsip utmost good faith, prinsip indemnity, prinsip proximate cause, dan prinsip kontribusi dan subrogasi.

Definisi dari prinsip utmost good faith (UGF) menyebutkan bahwa si tertanggung harus memberitahukan semua fakta material dengan benar, lengkap, serta sukarela atas obyek pertanggungan, baik diminta maupun tidak diminta. Sebaliknya, perusahaan asuransi pun dituntut harus menunjukkan itikad baiknya kepada si tertanggung. Sangat sering terjadi kesalahpahaman atas penerapan prinsip ini dalam bisnis asuransi. UGF seolah-olah hanya menjadi kewajiban si tertanggung, di mana si penanggung tidak perlu menunjukkan itikad baiknya kepada penanggung.

Banyak penanggung mengklaim bahwa tertanggung tidak melaksanakan itikad baik (breach of utmost good faith) sehingga klaim asuransi yang diajukan ditolak oleh perusahaan asuransi. Dalam banyak kasus, sering sekali niat baik tertanggung untuk melakukan sesuatu berkaitan dengan klaim asuransi menjadi bumerang karena ternyata tindakan itu melanggar ketentuan kontrak. Di sisi lain si tertanggung tidak mengetahui bahwa niat baik itu ternyata menjadi tidak baik, yang pada akhirnya menjadi gray area timbulnya konflik dari tuntutan ganti rugi.

Adalah menjadi kewajiban si penanggung untuk menjelaskan semua hal yang berkaitan dengan kontrak asuransi, termasuk sebelum dimulai kontrak. Apabila si penanggung tidak menjelaskan hak dan kewajiban si tertanggung, maka penanggung telah melanggar prinsip utmost good faith. Karena itu, ia dapat dituntut dan harus bertanggung jawab atas ganti rugi yang diderita tertanggung.

Karena salah satu peran utama usaha perasuransian adalah menghimpun dana masyarakat, maka pemerintah sangat berkepentingan atas maju mundurnya usaha perasuransian. Sekalipun asuransi dan perbankan sama-sama lembaga keuangan yang salah satu fungsinya menghimpun dana masyarakat, antara kedua lembaga ini mempunyai perbedaan yang sangat besar. Di banyak negara termasuk Indonesia, lembaga perbankan dilindungi oleh pemerintah. Kalau suatu bank dilikuidasi, para nasabah sebenarnya tidak perlu khawatir karena pemerintah akan menjamin bahwa uang nasabah akan dibayar. Paling-paling hanya direpotkan oleh waktu mencairkan uangnya.

Beberapa kasus

Ada beberapa kasus hukum bisnis asuransi yang pernah terjadi di negeri ini. Sebut saja kasus pemailitan Asuransi Jiwa Namura, Asuransi Wataka vs Tuan Fred Rachmat, Asuransi Jasindo vs China Trust Commercial Bank, kasus pemailitan Asuransi Manulife, dan terakhir kasus Asuransi Prudential.

Dari sekian contoh kasus asuransi tersebut, mungkin yang paling menarik perhatian adalah kasus Asuransi Manulife dan Asuransi Prudential. Mengapa? karena kedua kasus ini dinilai banyak pihak ada intervensi dari negara asal dari perusahaan asuransi dimaksud, karena kedua perusahaan tersebut kebetulan adalah perusahaan asuransi joint venture. Artinya, masyarakat mempertanyakan obyektivitas Mahkamah Agung.

Namun, apa pun masalahnya, dari awal kasus-kasus asuransi yang ada selama ini bisa dan akan menimbulkan turunnya kepercayaan masyarakat kepada lembaga perasuransian, baik perusahaan asuransi nasional maupun joint venture.

Dalam hukum asuransi dikenal istilah contra proferentem of rule. Artinya, apabila ada kalimat dalam kontrak yang menimbulkan keragu-raguan atas definisinya (ambiguity), maka yang bertanggung jawab adalah pihak yang membuat kontrak. Karena kontrak asuransi dibuat oleh perusahaan asuransi, maka akibat ambiguity perusahaan asuransi harus menjadi pihak yang bersalah dan yang bertanggung jawab

Akhir-akhir ini banyak masalah kepailitan perusahaan asuransi. Ada pihak yang mengatakan sebaiknya oleh Menteri Keuangan, dan pihak lain tetap mendukung berdasarkan Undang-Undang Kepailitan yang ada sekarang. Masyarakat sebenarnya tidak peduli siapa yang memailitkan, bahkan masyarakat sebenarnya yang paling berkepentingan agar tidak ada satu pun perusahaan asuransi yang pailit, karena pada akhirnya masyarakat yang menjadi korban. Bagi masyarakat, persoalannya bukan pihak atau lembaga mana yang sepantasnya untuk memailitkan, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana hak nasabah terlindungi dan siapa yang dapat memberikan jaminan atas hak nasabah. Adanya polemik siapa yang sepantasnya memailitkan usaha perasuransian dikhawatirkan merupakan bagian dari upaya pihak-pihak di luar tertanggung mencari cari kesempatan meraup keuntungan.

Berbenah diri

Pemerintah dalam hal ini Menteri Keuangan sebagai regulator, yang sekaligus bertindak sebagai pembina dan pengawas usaha perasuransian, supaya melakukan tugasnya dengan maksimal. Law enforcement harus dilakukan. Dari segi pembinaan, sebenarnya pemerintah sudah cukup baik dalam tugasnya, di mana saat ini negara telah memiliki Undang- Undang Perasuransian, ditambah dengan Peraturan Pemerintah di Bidang Usaha Perasuransian, serta banyak keputusan Menteri Keuangan. Namun, implementasi serta law enforcement dari undang-undang dan peraturan tersebut belum optimal.

Untuk menghindari terjadinya masalah besar, pemerintah harus menuntaskan setiap ada masalah yang kecil sehingga tidak menjadi besar. Frekuensi pengawasan langsung ke lapangan harus ditingkatkan karena yang ada selama ini rata rata perusahaan perasuransian hanya dikunjungi sekali setahun.

Perusahaan asuransi

Dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Keuangan Nomor 412/KMK06.2003 tentang Tes Uji Kepatutan dan Kelayakan (fit and proper test ), bagi pemegang saham, komisaris, dan direksi usaha perasuransian, diharapkan kasus-kasus asuransi yang terjadi akan semakin berkurang. Dengan adanya minimal 2 (dua) aspek yang dinilai, yaitu kompetensi dan integritas, maka ada harapan usaha perasuransian akan dikelola dengan lebih baik sehingga masalah yang mungkin timbul dapat diminimalkan.

Pengelola usaha perasuransian harus menunjukkan prinsip utmost good faith-nya, jangan hanya menuntut utmost good faith dari tertanggung. Kontrak asuransi harus dijelaskan dengan baik kepada calon tertanggung, bagaimana hak dan kewajiban tertanggung berkaitan dengan kontrak, apa akibatnya apabila tertanggung melanggar ketentuan yang ada dalam polis. Sudah harus dihilangkan konsep pemikiran "adalah kewajiban tertanggung untuk membaca kontrak asuransi".

Perusahaan asuransi harus selektif dalam menjalin kerja sama dengan agen asuransi, jangan asal terima bisnis. Perusahaan asuransi juga harus menjalankan prinsip underwriting yang prudent. Harus diingat bahwa tujuan perusahaan asuransi bukan sekadar bagaimana menjual produk atau bagaimana menghimpun premi sebanyak-banyaknya, jauh lebih penting adalah bagaimana melaksanakan kewajiban kepada tertanggung kelak.

Tertanggung

Dari kasus-kasus asuransi yang ada selama ini, memang banyak pula klaim asuransi sebagai akibat dari moral hazard tertanggung. Terdapat beberapa kasus klaim asuransi bersifat fraud claim, di mana nasabah asuransi ingin mendapatkan keuntungan dari kontrak asuransi dengan cara sengaja melakukan perusakan terhadap obyek asuransi, misalnya sengaja membakar bangunan, adanya konspirasi pembunuhan terhadap orang lain, dan lain sebagainya.

Tertanggung sebelum membeli polis asuransi harus hati- hati. Mengonsumsi asuransi jangan hanya diukur dari rendahnya premi, adanya hubungan pertemanan, perusahaan asuransinya selalu muncul di iklan. Mengukur kinerja perusahaan asuransi adalah sesuatu yang sulit karena banyak faktor teknis yang harus diukur.

Untuk memilih produk dan perusahaan asuransi yang baik, dapat diminta jasa konsultan asuransi atau menggunakan jasa broker asuransi.

Sekalipun pihak broker asuransi tidak menanggung risiko atas klaim asuransi, sesuai dengan peraturan/ketentuan perundang-undangan, maka broker asuransi tetap memiliki potential liability atas penempatan asuransi yang dilakukannya kepada perusahaan asuransi.

Apabila broker asuransi melakukan kesalahan dalam proses penutupan asuransi dan karena kesalahannya klaim asuransi yang diderita tertanggung ditolak oleh perusahaan asuransi, maka peraturan/undang- undang yang ada mengatakan broker asuransi harus bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita tertanggung.

Karena itu, broker asuransi dalam melaksanakan tugasnya harus benar benar profesional. Broker asuransi harus memberikan nilai tambah, baik pada tertanggung maupun kepada penanggung.

Para agen asuransi sudah waktunya meningkatkan profesionalisme. Agen yang professional tidak hanya diukur dari aspek penguasaan pemasaran saja. Agen yang profesional menjalankan profesinya berdasarkan dan tunduk pada peraturan perundang-undangan serta kode etik profesi yang berlaku.

Undang-Undang Asuransi di Indonesia secara tegas melarang agen bekerja kepada lebih dari satu perusahaan asuransi. Oleh karena itu, ketentuan ini harus dipatuhi. Kalau sudah dapat bekerja dan bertindak sebagai broker asuransi, jadilah broker asuransi. Jangan terus jadi agen karena ini dapat merusak tatanan usaha perasuransian dan dapat menciptakan pasar yang kurang kondusif.

Kapler A Marpaung Ketua Umum Asosiasi Broker Asuransi & Reasuransi Indonesia

____________________________________________________________

Sumber: http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0406/24/finansial/1106591.htm

Diakses Tanggal: 15 Nopember 2008


2 comments:

  1. asslmkm, maaf mba saya mu minta izin juga untuk mengambil bahan studi asuransi untuk keperluan tugas kuliah saya, terima kasih sebelumnya ya mba.

    ReplyDelete
  2. mba saya mau tanya apa betul ada UU dimana perusahaan asuransi tidak dapat di pailitkan kecuali oleh mentri keuangan, jadi otomatis asuransi di marger?. krna kepentingan masyarakat banyak?.
    satu lagi apakah betul dalam UU asuransi pailit nasabah diutamakn dalam hal hak nasabah, sedangkan di bank apabila pailit kepetingan nya berada di urutan kesekian.?..
    klo ada link info tersebut share ya mba!. inside.think@yahoo.com thanks ya mba endang..

    ReplyDelete

silakan isi komentar atau pertanyaan